Kicauan di Twitter oleh satu dari tiga gadis Inggris yang diduga sedang menuju Suriah untuk bergabung dengan milisi Negara Islam di Irak dan Suriah atau ISIS itu seolah membangunkan publik Inggris. Warga negeri itu pun tersadar, anak-anak perempuan mereka ternyata terus menjadi incaran jaringan kelompok ekstrem di Suriah untuk direkrut.
”Follow saya supaya saya bisa kirim pesan langsung kepada Anda," demikian kicauan Shamima Begum (15), Minggu (15/2/2015). Di Twitter, dua pengguna yang menjadi follower satu sama lain itu bisa berkirim pesan tanpa terpantau. Menurut BBC, Begum dilaporkan mengirim pesan kepada Aqsa Mahmood (20), perempuan Skotlandia yang pergi ke Suriah pada 2013 karena ingin menjadi "pengantin jihad".
Ia dan dua rekannya, Kadiza Sultana (16) dan Amira Abase (15), kabur dari rumah masing-masing di London timur, Selasa (17/2/2015). Pejabat Anti-Terorisme Inggris yang dikutip Guardian mengatakan, ketiganya kabur pada pagi itu sebelum pukul 08.00. Mereka adalah pelajar Akademi Bethnal Green, London.
Kepada keluarga, salah satu dari mereka meminta izin akan belajar. Namun, ketiganya ternyata bertemu di Bandara Gatwick. Mereka lalu terbang dengan pesawat Turkish Airlines TK 1966, yang lepas landas pukul 12.40, menuju Istanbul, Turki. Pesawat ini mendarat di Istanbul pukul 18.40 waktu setempat.
Turki kerap dijadikan pintu gerbang warga asing yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah. Hingga Minggu, ketiga gadis itu diduga masih berada di Turki. Inggris mengatakan, ketiganya pernah diwawancara polisi setelah seorang pelajar perempuan dari sekolah mereka pergi ke Suriah, Desember lalu.
Tidak ada indikasi ketiga gadis itu berisiko ikut hengkang ke Suriah. Namun, kaburnya mereka dari Inggris membuktikan otoritas negeri itu kecolongan. Melalui pernyataan yang dikutip BBC, Minggu (22/2/2015), keluarga Aqsa Mahmood mengaku sangat ketakutan dan marah. Anak perempuan mereka kemungkinan ikut berperan merekrut gadis-gadis Inggris untuk ISIS.
"Namun, ada pernyataan serius bagi aparat keamanan yang harus dijawab," demikian pernyataan keluarga Mahmood. "Media sosial Aqsa telah dimonitor sejak ia menghilang lebih dari setahun yang lalu. Meski ada dugaan terjadi kontak gadis-gadis itu dengan Aqsa, mereka (aparat keamanan) gagal mencegah mereka meninggalkan Inggris ke Turki, pos menuju Suriah."
Nama Aqsa Mahmood menjadi buah bibir di Inggris setelah pada November 2013 meninggalkan negaranya untuk bergabung milisi ISIS di Suriah. Setelah tiba di Suriah, ia menghubungi keluarganya dan mengabarkan ia akan menikah di negeri itu. Kepada keluarganya, Aqsa ingin menjadi syahid.
Radikalisasi di kamar tidur
Dalam wawancara dengan CNN, yang dilansir 5 September 2014, ayah Aqsa, Muzaffar, mengungkapkan, pikiran Aqsa terpengaruh setelah sering menyaksikan khotbah-khotbah secara daring dan menjalin kontak lewat media sosial dengan orang-orang yang meninggalkan Glasgow ke Suriah.
Kini, setelah tinggal di Suriah, Aqsa memanfaatkan Twitter untuk mengajak gadis lainnya dari Inggris mengikuti jejaknya pergi ke Suriah. ”Kini makin jelas, orang tidak mengalami radikalisasi di tempat-tempat ibadah. Mereka sebenarnya teradikalisasi di kamar tidur lewat internet,” kata Baroness Warsi, mantan Menteri Luar Negeri Inggris, kepada Sky News.
Pakar anti-terorisme di Inggris memperkirakan, sekitar 50 perempuan muda Inggris bergabung dengan ISIS. Banyak dari mereka diyakini tinggal di Raqqa, ibu kota ISIS di Suriah timur. Mereka, kata Sara Khan dari Inspire, organisasi penanggulangan ekstremisme, merasa menjalankan tugas agama. Padahal, tanpa disadari, mereka dieksploitasi ekstremis.
”Follow saya supaya saya bisa kirim pesan langsung kepada Anda," demikian kicauan Shamima Begum (15), Minggu (15/2/2015). Di Twitter, dua pengguna yang menjadi follower satu sama lain itu bisa berkirim pesan tanpa terpantau. Menurut BBC, Begum dilaporkan mengirim pesan kepada Aqsa Mahmood (20), perempuan Skotlandia yang pergi ke Suriah pada 2013 karena ingin menjadi "pengantin jihad".
Ia dan dua rekannya, Kadiza Sultana (16) dan Amira Abase (15), kabur dari rumah masing-masing di London timur, Selasa (17/2/2015). Pejabat Anti-Terorisme Inggris yang dikutip Guardian mengatakan, ketiganya kabur pada pagi itu sebelum pukul 08.00. Mereka adalah pelajar Akademi Bethnal Green, London.
Kepada keluarga, salah satu dari mereka meminta izin akan belajar. Namun, ketiganya ternyata bertemu di Bandara Gatwick. Mereka lalu terbang dengan pesawat Turkish Airlines TK 1966, yang lepas landas pukul 12.40, menuju Istanbul, Turki. Pesawat ini mendarat di Istanbul pukul 18.40 waktu setempat.
Turki kerap dijadikan pintu gerbang warga asing yang ingin bergabung dengan ISIS di Suriah. Hingga Minggu, ketiga gadis itu diduga masih berada di Turki. Inggris mengatakan, ketiganya pernah diwawancara polisi setelah seorang pelajar perempuan dari sekolah mereka pergi ke Suriah, Desember lalu.
Tidak ada indikasi ketiga gadis itu berisiko ikut hengkang ke Suriah. Namun, kaburnya mereka dari Inggris membuktikan otoritas negeri itu kecolongan. Melalui pernyataan yang dikutip BBC, Minggu (22/2/2015), keluarga Aqsa Mahmood mengaku sangat ketakutan dan marah. Anak perempuan mereka kemungkinan ikut berperan merekrut gadis-gadis Inggris untuk ISIS.
"Namun, ada pernyataan serius bagi aparat keamanan yang harus dijawab," demikian pernyataan keluarga Mahmood. "Media sosial Aqsa telah dimonitor sejak ia menghilang lebih dari setahun yang lalu. Meski ada dugaan terjadi kontak gadis-gadis itu dengan Aqsa, mereka (aparat keamanan) gagal mencegah mereka meninggalkan Inggris ke Turki, pos menuju Suriah."
Nama Aqsa Mahmood menjadi buah bibir di Inggris setelah pada November 2013 meninggalkan negaranya untuk bergabung milisi ISIS di Suriah. Setelah tiba di Suriah, ia menghubungi keluarganya dan mengabarkan ia akan menikah di negeri itu. Kepada keluarganya, Aqsa ingin menjadi syahid.
Radikalisasi di kamar tidur
Dalam wawancara dengan CNN, yang dilansir 5 September 2014, ayah Aqsa, Muzaffar, mengungkapkan, pikiran Aqsa terpengaruh setelah sering menyaksikan khotbah-khotbah secara daring dan menjalin kontak lewat media sosial dengan orang-orang yang meninggalkan Glasgow ke Suriah.
Kini, setelah tinggal di Suriah, Aqsa memanfaatkan Twitter untuk mengajak gadis lainnya dari Inggris mengikuti jejaknya pergi ke Suriah. ”Kini makin jelas, orang tidak mengalami radikalisasi di tempat-tempat ibadah. Mereka sebenarnya teradikalisasi di kamar tidur lewat internet,” kata Baroness Warsi, mantan Menteri Luar Negeri Inggris, kepada Sky News.
Pakar anti-terorisme di Inggris memperkirakan, sekitar 50 perempuan muda Inggris bergabung dengan ISIS. Banyak dari mereka diyakini tinggal di Raqqa, ibu kota ISIS di Suriah timur. Mereka, kata Sara Khan dari Inspire, organisasi penanggulangan ekstremisme, merasa menjalankan tugas agama. Padahal, tanpa disadari, mereka dieksploitasi ekstremis.
Tidak ada komentar:
Write komentar